Blok gavin dianto

SUBHANALLAH WALHAMDULILLAH WA LA ILAHAILLALLAH WALLAHU AKBAR

Selasa, 02 November 2010

MY-Cerpen==Daun Berjatuhan di Lauh Mahfudz== Diterbitkan dalam Kumcer FLP bekasi 1

DAUN BERJATUHAN DI LAUHF MAHFUDZ

Oleh: md_gavin


         Aku baru saja menghempaskan diri disofa di ruangan tamu. Ketika anak pertamaku bangun dari tidurnya. Perasaan letih dan penat sempat membuatku terlelap sejenak. Sudah semalaman aku terjaga dari tidur. Penyakit jantung mertuaku kambuh semalam sehingga harus begadang menemaninya di Rumah sakit terkenal dikotaku. Dengan gerakan khasnya yang manja anakku itu mencoba meraih kakiku . Minta di gendong.
         Aroma masakan dari dapur membuat diriku tergerak untuk mencari tahu. Perasaan yang menggelitik perut membuatku tergoda karena sejak semalam perut ini hanya diisi singkong rebus dan segelas kopi. Kulihat istriku sedang sibuk membolak-balik nasi yang dipenuhi bumbu diatas kuali. Nasi goreng rupanya. Ia tahu sekali makanan favoritku. Sejak beberapa tahun menikah ia sudah banyak mengenalku. Ya aku bersyukur sekali mendapatkan istri sholehah sepertinya.
Aku memberanikan diri menikah dengannya setelah dikenalkan oleh Ustad Ahmad. Beliau adalah seorang Da’I kondang yang sering mengisi khotib jum’at di kampusku yang kukenal baik. Aku pun tak tahu mungkin inilah jodoh, padahal aku berasal dari timur pulau jawa dan menamatkan sekolah menengahku disana. Allah menakdirkan aku lulus ujian masuk perguruan tinggi di universitas negeri di propinsi paling barat sumatra ini. Setelah mendapat restu orang tua, dengan basmalah aku coba merantau menuntut ilmu di negeri yang sering disebut tanah rencong ini. Maklum orangtuaku hanya pegawai negeri yang kantongnya hanya bisa membiayai kuliah di universitas negeri saja. Itu pun sudah sangat sulit apalagi ditambah biaya adik-adikku yang berjumlah empat orang yang semuanya pun masih sekolah. Tapi orang tuaku bersikeras agar aku tetap kuliah disana. Harapan kedua orang tuaku besar sekali agar aku nanti bisa jadi seorang sarjana yang bisa membimbing adikku yang lain.
 Istriku hanya tersenyum saja ketika aku sudah tak sabaran mengambil piring dan memindahkan beberapa centong nasi goreng yang sudah matang dari kuali sambil mengendong anakku yang tak mau lepas.
Jam hampir menunjukkan jam 08:00 pagi. Anakku yang pertama Farah sudah mulai menarik-narik tanganku mengajak bermain sambil menyodorkan bola plastik yang bergambar tokoh kartun terkenal . Hari minggu adalah jatah Farah bermain bersamaku. Dengan masih menahan kantuk ku coba mengajaknya  bermain-main sebentar.
Sejak beberapa tahun berumah tangga Allah telah memperindah rumah tangga ini dengan anugerahnya berupa dua orang anak. Anak pertamaku Farah  sekarang berusia 3,5 tahun. Nanti bulan juni ia akan genap 4 tahun. Ia memang polos dan sering membuat tante-tantenya gemes kalau berkunjung ke sini. Lucu juga mendengar cita-citanya. ia ingin jadi dokter specialis kandungan. Ketika kutanya kenapa ? Ia menjawab dengan polos. ” Biar bisa nolongin tante Santi yah, kalo mau melahirkan nggak repot-repot cari dokter spesialis kandungan yang perempuan.”. Aku hanya senyum-senyum saja mendengar penjelasannya.
Istriku sekarang sedang sibuk menidurkan Farhan yang menangis terbangun dari tidurnya. Anakku yang kedua itu memang baru berusia 3 bulan. Ia lahir prematur disaat kandungan istriku baru berusia tujuh bulan. Tangisan Farhan yang kencang membuat Farah berlarian kekamar meninggalkan bola mainannya. Farah begitu sayang dengan adiknya.
Ah… ini kesempatan bagiku untuk melepas lelah. Rasa penat dan perihnya mataku menahan kantuk semakin membuat diriku tak tertahan untuk merebahkan diri di sofa. Sofa yang empuk itu begitu bersahabat dengan tubuhku yang merasa nyaman ketika berada diatasnya. Kalau adiknya sudah bangun Farah akan betah berlama-lama menggoda adiknya.
Tapi tak berselang lama diantara biasan mimpi-mimpiku tiba-tiba aku terbangun oleh suatu guncangan hebat yang diselingi suara pecahan kaca disekelilingku.
Aku tersentak dan mencoba bangkit dari sofa secepatnya tapi goncangan yang hebat itu membuatku limbung. Piring dan gelas  yang berada diatas  meja berjatuhan kelantai. Rak piring berisi barang pecah belah tumbang menimbulkan suara berisik.  Percahan belingnya menebar kemana-mana. Kaca jendela ruang tamu  pun hancur tertimpa lemari buku yang roboh melintang di depan pintu.
“ Bang..tolong !, gempa bang ! “ . Teriakan istriku dari dalam kamar membuatku cepat tersadar. Segera aku mencoba menuju kamar dimana istri dan anak-anakku berada. Goncangan yang hebat itu membuatku sempoyongan. Sesaat aku merasakan rasa perih di tapak kaki. Darah mengalir dari kakiku yang tak sengaja menginjak pecahan-pecahan beling yang hampir menutupi seluruh lantai. Tapi aku tak menghiraukannya. Teriakan istriku dan tangisan farah seakan memberiku kekuatan untuk segera  menyelamatkan mereka untuk segera mungkin keluar dari rumah ini. Goncangan dahsyat telah menggeser posisi meja dan kursi  diseluruh ruangan. Debu-debu serpihan dari atap rumah yang berjatuhan membuat pandanganku kabur.
Tanganku hampir meraih daun pintu dimana istri dan anakku berada.  Tapi tiba-tiba atap rumahku ambruk dan persis menimpaku yang tepat ada dibawahnya. Aku pun mencoba melindungi kepala dengan kedua tangan dari runtuhan atap.
“ Brakk…..!”. aku hanya bisa meringis menahan sakit saat plafon membentur tanganku. Aku pun limbung dan terjatuh kelantai.
Aku merasakan sakit yang luar biasa di sekitar paha dan duburku. Aku hanya bisa mengertakkan geraham menahan sakit. Darah merembes kemana-mana saat banyak pecahan beling menembus daging tubuhku. Pecahan-pecahan beling telah menanti jatuhnya tubuhku ketika tertimpa plafon.
Dengan sisa sisa tenaga, aku berusaha menyingkirkan plafon yang menimpaku. Aku tidak mau menyerah, keselamatan anak dan istriku lebih utama. Tangisan farhan semakin membuatku panik. Aku berusaha menghilangkannya dengan Istighfar. Dengan susah payah akhirnya aku berhasil mendapatkan istri dan anakku berada dipojok kamar saling berpelukan.
Aku tidak mau lama-lama menunggu. Langsung kuraih farah dan mengendongnya di punggungku. Segera aku mengajak mereka keluar rumah.  Istriku yang masih mengendong Farhan langsung mengamit tanganku dan beranjak dari tempatnya.
 Beruntung lantai yang semula dihiasi pecahan beling tertutupi asbes plafon rumahku yang runtuh. Kami dapat segera melangkah menuju pintu belakang untuk keluar dari rumah. Goncangan  belum berhenti juga. Beberapa genteng rumah mulai berjatuhan kelantai. Aku tetap berusaha membawa keluargaku  keluar rumah meski menjinjit akibat luka dikakiku. 
Tiba-tiba sederetan genteng tepat diatas kepalaku berjatuhan. Mungkin sekitar enam tujuh genteng yang jatuh. Aku bertakbir. Cepat kutarik istriku yang sedang menutupi si Farhan dengan jilbabnya kearah samping bufet. Genteng yang berjatuhan itu hancur berkeping-keping ketika berbenturan dengan lantai. Tapi tak urung sebuah genteng tak dapat kuhindari. Aku mencoba berkelit untuk menghindari kepala Farah yang mungil dari reruntuhan itu. Aku hanya mengeraskan panggal lengan kiriku ketika harus beradu dengan genteng itu.
“ Brak…!”. Benturan itu membuat lenganku memar. Rasa sakit diseluruh kujur tubuhku tak kuhiraukan lagi. Alhamdulillah farah bisa kuhindari dari reruntuhan itu.
“ Bang ayo .! Kita harus segera keluar. Rumah kita mau roboh. “ istriku semakin bertambah panik. Ia menyeret lenganku menuju pintu belakang rumah. Farah yang kugendong menangis kencang.
         Tak selang berapa lama setelah berada diluar rumah, pohon mangga yang ada dibelakang rumah tumbang menimpa dinding dapur. Seketika dinding itu roboh dan menimbulkan suara yang keras. Sisa sisa genteng yang masih menempel diatap rumah pun berjatuhan . Aku tak memikirkan lagi berapa kerugian yang kami alami, yang terpenting bagiku keluargaku selamat. Wajah istriku masih pucat ketika ku memandangnya, mungkin ia menyadari seandainya kalau terlambat sedikit saja maka  kami semua akan tertimpa reruntuhan itu. Gempa itu pun berhenti.
           Aku mencoba menghirup udara sedalam-dalamnya sambil menahan sakit di sekujur tubuh. Setelah mencari tempat yang aman aku menurunkan Farah dan mencoba mencabuti beling-beling yang masih menempel tembus di tubuhku. Istriku berhasil menemukan  beberapa lembar baju yang berjatuhan dipekarangan rumah yang sejak pagi sudah ia jemur. Dengan dibantu istriku aku membalut luka-lukaku, setelah sebelumnya merobek baju-baju itu menjadi beberapa bagian.
         Darah dari lukaku masih mengalir, balutan kain yang semula berwarna putih kini sudah basah dengan darah. Aku tetap berusaha tersenyum ketika istriku memandangku cemas. Tangis Farah yang semakin kencang ketika melihat lukaku semakin menambah kegelisahan istriku. Aku berusaha menenangkannya.
         Suasana begitu ramai, kepanikan pun melanda tetangga-tetanggaku. Mbah Minah tetanggaku yang persis  bersebelahan dgn rumahku berteriak kesana-kesini minta tolong. Suaminya terjepit diantara dinding yang roboh. Aku berusaha bangkit untuk menolongnya. Sambil meringis menahan sakit aku bergegas menuju kerumahnya. Istriku yang berusaha menghalangi akhirnya membiarkanku setelah kuyakini bahwa aku tidak apa-apa.
Belum beberapa jauh aku melangkah. Tiba-tiba aku mendengar tetangga-tetanggaku berteriak penuh kepanikan. Beberapa diantara mereka berlari kearahku sambil berteriak “ Air bah! Ada air bah datang ayo lari!.” Aku pun tertegun ketika melihat kearah yang mereka tunjuk. Air setinggi bukit datang kearah tempatku berdiri dengan kecepatan yang luar biasa. Aku berusaha berlari kearah dimana anak istriku berada. Air bah yang datang itu telah merobohkan bangunan apapun yang ia lewati. Aku pun melihat puluhan orang ikut terseret arus bah itu. Aku hanya pasrah. Mungkin kiamat yang dijanjikan telah tiba. Aku pun bergegas mengendong farah dan berlari sekencang-kencangnya sambil menyeret tangan istriku. Air bah itu semakin mendekati kami. Baru beberapa langkah kami berlari. Tiba-tiba aku merasakan seperti ada tenaga besar memukul punggungku. Air bah itu  menerjang kami.
Seketika kepalaku pusing dan luka-lukaku terasa perih sekali. aku merasakan diriku berputar-putar didalam air bah itu. Entah berapa banyak air yang farah telan, aku tetap memeluknya kencang-kencang. Air bah itu kotor sekali, lumpur hitam dan puluhan kubik kayu ikut menyertainya.  Aku berusaha menarik nafas sedalam dalamnya ketika ada dipermukaan.  Farah kugendong diatas bahu kananku.
Entah kemana istriku dan Farhan anakku, hempasan yang kuat memisahkan pegangan tanganku yang berusaha mencengkram pergelangan tangannya  kuat-kuat. Ya Allah, seketika aku ingat, istriku tidak bisa berenang. Kegelisahan bercampur kesedihan hebat yang belum pernah kurasakan sebelumnya  tiba-tiba membuncah didadaku. Ku ingin berteriak dengan apa yang menimpa. Air mata kekhawatiranku bertambah deras ketika mengingat anak keduaku farhan yang bersama istriku. Tubuhku gemetar. Dengan seluruh tenaga  berulang kali ku berteriak memanggil istriku diantara teriakan puluhan orang-orang yang ikut hanyut terbawa arus. Derasnya arus membuatku timbul tenggelam diatas permukaan. Kotornya lumpur membuat pandanganku nanar.  Berat badan farah pun merepotkan diriku. Sekilas aku menangkap sesosok tubuh berkerudung putih sekitar sepuluh meter dariku. Ku kenal kerudung itu. Ia istriku. 
Dengan tangan melambai ia berusaha memanggil. Tangan kanannya begitu ketat memegang Farhan. Aku berteriak histeris.  Kepanikan luar biasa melandaku. Ku coba mendekatinya dengan seluruh tenaga. Hatiku teriris melihat orang-orang yang kukasihi sesekali tenggelam terbawa arus. Air mataku tak terasa mengalir. Ku coba untuk tegar. kayu-kayu yang begitu banyak semakin mempersulit ruang gerak dan membuat jarak istriku semakin jauh. Setelah beberapa saat mencoba mendekati, aku kehilangannya. Dengan sisa tenaga ku coba semakin keras menyingkirkan kayu-kayu itu. Hatiku semakin berduka ditambah semakin kerasnya ku berteriak memanggil Istriku. Tapi tak beberapa lama ia muncul kembali kepermukaan. Nafasnya tersegal.
“ Bang ! tolong bang..!” ucapan nya terputus, istriku kembali tenggelam. Tangan kirinya bergerak tak tentu arah menyibak air. Aku hanya bisa memandangnya pasrah diantara kesedihan yang menggunung menyaksikan wanita yang ku cintai begitu menderita dihadapanku.
  Bang maafkan saya bang…!” ucapannya terputus diselingi tangisan dan ucapan yang tidak begitu jelas. Ia kembali tenggelam. Aku tak percaya mendengar ucapannya. Seakan ia mengetahui ajalnya sudah dekat. Aku pun sibuk berusaha menjaga keseimbangan agar tidak tenggelam. Kuraih sebuah papan yang ikut hanyut disampingku.
 Diantara penderitaannya istriku masih tetap memegang Farhan ditangan kanannya.  Ya Allah aku hanya bisa pasrah.  Beberapa kali ia timbul tenggelam diiringi lambaian tangan.. Aku mencoba tetap tegar. Beberapa saat istri dan anakku tidak muncul lagi dari permukaan. Badanku makin gemetar. Kesedihan mendalam menyelimuti diriku. Aku hanya bisa mengiringi kepergiannya dengan ikhlas. Puluhan mayat ikut mengiringi kepergian orang-orang yang kucintai. Hari ini puluhan daun berguguran di lauhf mahfudz.
Arus itu begitu deras, dalam waktu singkat telah menyeret kami ke daerah perkebunan kelapa yang jauhnya sekitar 2Km dari rumah. 
         Tiba-tiba aku merasakan benturan yang begitu kuat di kepalaku. Arus itu telah menghempasku menabrak sebuah pohon kelapa yang masih berdiri kokoh menantang arus. Benturan itu secara tak sadar membuat pegangan Farah  terlepas.

“ Ayah…Ayah… “.

jeritan itu membuat nadiku terhenti. Ya Allah Ku hanya bisa menjerit. Hempasan nafas lirih anakku ternodai desakan air yang memaksa masuk kemulut mungilnya.

“ Ayah…ayah…”

Ia semakin jauh…semakin jauh.. jauh sekali. Tubuhnya hilang bersama puluhan sampah yang mencekiknya. “ YA Allah kutitipkan keluargaku padaMu”.
Tubuhku hanyut. Puluhan kayu menjepitku. Dadaku terasa pecah. Perutku kembung terisi air. Kepalaku terasa berat. Darah banyak mengalir dari benturan itu. Sakit sekali.
Arus itu menggulungku. Aku dipermainkannya. Banyak air yang kutelan. Aku tak berdaya, puluhan kayu menghalangiku mengambil nafas.
 Ya Allah jika engkau berkehendak mencabut nyawaku maka tidak akan ada yang bisa menghalanginya. Tapi ya Allah ku mohon ampun atas segala dosaku. Selama ini aku masih banyak menyia-nyiakan waktu nafasku untuk hal sia-sia. Padahal aku sadar bahwa engkau akan menjemputku setiap  saat.
Tiba-tiba arus yang membawaku  menukik tajam. Puluhan kayu-kayu tajam menghimpitku. Aku tak dapat menghindar hanya beristighfar.  Dinding sebuah rumah ikut roboh bersamaku ketika beradu dengan tubuhku. Seluruh badanku remuk. Tak dapat bergerak. Arus itu begitu kuat memelukku.
Ya Allah, engkaulah Rabb ku . Tiada Illah  selain engkau. Engkaulah yang menciptakan aku. Aku adalah hambamu. Berada dalam gengamanMu. Dalam janji kepadaMu. Sekemampuanku untuk memenuhinya. Aku berlindung kepadaMu ya Rabb atas segala perbuatanku. Aku mengakui seluruh nikmat yang Engkau berikan. Aku mengakui seluruh dosaku. Ampunilah aku ya Rab. Tiada yang bisa mengampuni dosaku selain Engkau.
 Sesosok cahaya putih menghampiriku laksana terbang. Entah dari mana asalnya. Semakin dekat. Kini ia mencekal ubun-ubunku.
 “ Apakah engkau tamu agung itu ?”  Asyhadualla ila Ha illalah wa asyhaduana Muhammadar rasulullah”.

***

4 komentar:

Tri Haryadi mengatakan...

awesome man !! ;)

gavindianto mengatakan...

Glek, Tenggorokan jadi seret. Btw Thank you.

Holil Sumarna mengatakan...

Mas gavin bener nih cerpennya tulisan antum,wah gak nyangka bisa nulis cerpen juga ya.ane mau belajar nih

gavindianto mengatakan...

Ya, alhamdulillah. Cuma sdh lama juga nggak nulis. Masih sama-sama belajar lah. Hehehe..

Posting Komentar